Berbicara “Kejujuran” seperti halnya berbicara tentang “keihklasan dan kesabaran”. Kata – kata ini mudah untuk diucapkan, tetapi dalam pelaksanaan prakteknya butuh “kesadaran”. Kejujuran sebagai ajaran hidup pasti berpengaruh positif dalam kehidupan. Namun seperti apa dalam praktek kesehariannya…???????
Memaknai kejujuran tentu dibutuhkan kesadaran untuk memulai bahkan untuk menilainya pun, karena kejujuran dapat bernilai positif dan kejujuran dapat bernilai negatif. What???? Negatif..? [meskipun pada dasarnya jujur itu sebenarnya positif, namun tergantung kondisi sehingga dapat berimbas negatif pada si pelaku yang jujur. (>,<)GUBRAK (>,<) …. hohohoho betul tidak ya.. ????sampai-sampai mau jujur saja atut rasanya…. Nah loh :( kena’ damprat ya, dikucilkan ya…. Kawaisone’(bahasa jepang, kasian deh loe)] trus gimana donk….??
nah klo sudah begini banyak dari semua kalangan akhirnya punya pemikiran yang endingnya keluar kata “ya sudahlah, biarin aja”
Astaghfirullah, macam apa pula ini kalau setiap jiwa anak bangsa sudah tidak punya karakter jujur :(
Jujur seharusnya ditanamkan pada jiwa anak sejak dini. Sehingga kesadaran untuk selalu jujur tertanam sejak kecil. Sekarang pertanyaannya apa iya seorang anak bisa langsung sadar akan arti sebuah kejujuran??
Lalu tugas siapa yang mengarahkan, membuat sadar si anak kalau jujur itu merupakan perbuatan yang berbudi luhur dan anjuran nabi pada ummatnya…??
Disini butuh peranan orang tua, guru, teman sebaya, saudara dan khalayak masyarakat pada umumnya sesuai dengan ruang lingkup masing – masing. Namun dengan melihat kebanyakan fenomena yang ada pada dewasa masa kini, orang tua lebih sibuk dalam pekerjaannya sehingga pulang ke rumah sudah kemungkinan capek bahkan lupa betapa pentingnya untuk memberi pengarahan anak, menceritakan kisah - kisah teladan nabi, menganjurkan jujur pada anak, menanamkan karakter baik pada anak. Sadar atau tidak secara tidak langsung orang tua sekarang lebih percaya dan memberi kepercayaan penuh pada instansi akademik dalam mendidik seorang anak. Gimana nggak..?? lha wong sekarang orang tua lebih suka mencari sekolah full day, salah satu alasannya kan supaya anak dari pada dirumah bermain tidak terkontrol mending di sekolah aja belajar, ada teman dan guru – gurunya sehingga si anak pulang sekolah sore nanti nggak lama kemudian orang tua pas waktu pulang kerja.
Nah melihat kondisi ini saja, seorang guru memiliki tugas dan peranan sangat berat, tidak hanya memberikan pemahaman pembelajaran yang disampaikan saja tetapi sangat dianjurkan, diharapkan dan diberi kepercayaan penuh dari orang tua dapat memberikan tauladan yang baik dan berperan aktif membangun karakter anak sehingga membentuk kepribadian yang baik dalam hal pikiran, ucapan dan perbuatan. Tugas yang tak ringan, namun begitu mulia untuk diemban.
Dari sekian butir - butir akhlak dan karakter yang harus dikembangkan dan mendapat penekanan khusus dalam dunia akademik yaitu soal kejujuran. Kejujuran harus digenggam teguh mulai usia dini, dimanapun dan kapanpun. Hal ini dapat dijadikan budaya pembelajaran kejujuran yang nantinya diharapkan dapat berkesinambungan, tidak hanya di akademik tingkat dasar saja ditekankan namun hingga perguruan tinggi.
Disini guru berperan mengarahkan, mengingatkan dengan bahasa yang baik dan mudah diresapi anak, serta memotivasi anak untuk selalu berbuat jujur. Keberhasilan seorang anak akan berpengaruh pada kehidupan. Karena keberhasilan bila diraih tanpa kejujuran pada hakikatnya adalah kegagalan.
Mencontek pada saat ulangan adalah perbuatan tercela, maka sebaiknya guru langsung tegas bertindak. Bukan malah memberi kebebasan anak untuk mencontek, alih – alih guru sibuk dengan BB’anya -Blackbery- sehingga membiarkan anak mencontek asalkan tidak ramai, (nah ini harus dihindari oleh seorang guru..setuju…?? coba kita ulas kembali sebenarnya fungsi ulangan itu apa..?? selain sebagai tolak ukur seberapa tingkat kepahaman anak dalam belajar, alangkah baiknya ulangan sebagai ajang kesadaran meningkatkan prestasi anak dengan kemandirian, usaha belajar dan kejujuran anak)
Manfaat pembiasaan jujur dalam menghadapi ulangan adalah tumbuhnya budaya belajar yang tinggi pada diri anak, sehingga ada kebanggaan tersendiri ketika mampu memetik nilai yang memuaskan. Bila sikap jujur sudah terpatri, perilaku anak jadi berbeda mengarah ke akhlak yang lebih baik dan berbudi pekerti.
Ada kisah seorang pelajar melapor pada gurunya kalau saat ujian berlangsung banyak dari beberapa teman sekelas menggunakan hp untuk mencontek. Lalu sang guru menjawab “mencontek itu ikhtiar loh, knapa kamu nggak…??” Toeng,,, hmmm terasa tertatap dengan tiang nie kening… Sebagai guru bolehlah kita bercanda dengan murid untuk melepas ketengangan kondisi yang ada, namun jika berucap kita harus hati – hati. Ya….. kalau siswa bisa menela’ah dan membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang serius atau bercanda, kalau tidak….??????? Timbul rasa kekecawaan pada diri siswa sehingga berfikir ulang “iya..ya knapa saya nggak ikhtiar seperti teman-teman.. ngapain juga susah – susah baca buku” pikir si siswa. Ini akan berdampak sekali pada kejujuran siswa.
jJika demikian terjadi guru sebaiknya dengan lugas menjawab”ya nanti ibu akan mengambil sikap, terima kasih informasinya nak” lalu guru harus benar – benar mengambil sikap tegas untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
Seorang guru merupakan tauladan bagi anak didiknya, berhati – hati dalam lisan, sikap dan perbuatan. Seorang guru juga harus memahami karakter pada jiwa masing - masing anak, tidak langsung marah jika anak berbuat salah, tidak memuji anak terlalu berlebihan seyogyanya sesuai dengan batasan etika pendidikan. Alangkah baiknya seorang guru memberikan penguatan – penguatan positif, memperhatikan dan menghargai setiap gerak perubahan perilaku siswa sebagai upaya penguatan agar siswa lebih termotivasi memunculkan perilaku baiknya.
Sebuah ungkapan bijak menegaskan bahwa mendidik anak usia muda itu bagai kita mengukir diatas batu, sedang mendidik orang tua ibarat mengukir di atas pasir. Ukiran dibatu pasti lebih membekas dan tahan lama. Sementara ukiran di pasir pantai bakal segera sirna disapu oleh ombak lautan. Maka penanaman kebiasaan baik, nilai – nilai moral hingga ketauhitan pada usia anak tentu lebih melekat, asalkan cara penyampaiannya selaras dengan perkembangan mental anak yang bersangkutan.
Dalam setiap proses pembelajaran tidak ada salahnya guru selalu menyisipkan atau menghubungkan materi pelajaran dengan nilai – nilai hidup berbudi luhur sehari – hari. Sesungguhnya anak – anak peka dengan nilai – nilai kebenaran. Begitu menerima satu informasi tentang nilai – nilai positif segera dicerna dan diinternalisasikan kedalam dirinya…..ini sangat bagus walaupun kadang juga membawa dampak pemikiran nantinya.
Keteladanan jauh lebih berpengaruh ketimbang sanksi atau ancaman. Banyak orang sependapat dengan ungkapan itu. Namun sayang tidak banyak yang bertekad melaksanakannya. Siswa mencuri misalnya, guru jangan langsung menuduh dan bersikeras supaya siswa mengakui perbuatannya dengan memberikan sanksi atau ancaman, jika siswa tidak jujur maka akan dikeluarkan dari sekolah, hal ini dapat mempengaruhi siswa untuk mengaku dengan terpaksa, terpaksa mengakui karena tekanan. Sebaiknya guru lebih ramah menyikapi hal tersebut dengan mengambil hati siswa tersangka sehingga siswa jujur dengan kesadarannya.
Keteladan memang gampang dilisankan, sebaliknya sungguh berat untuk diterapkan. Apalagi bila faktor lingkungan tidak mendukung. Maka harus ada dorongan kuat dan kesadaran yang tinggi bila ingin mewujudkannya.
Logika sederhananya : bila guru dan orang tua memberi contoh yang baik, maka anak – anak insya Allah akan mengikutinya, sebaliknya seperti dongeng fabel klasik, bila induk kepiting berjalan miring maka otomatis anak – anaknya ikut miring.
Dipahami, jujur merupakan karakter pribadi seseorang, sebagian besar dibentuk oleh pendidikan akademiknya. Karena itu, untuk membentuk pribadi yang terpuji, tanpa cela dan jujur mutlak dibutuhkan pendidikan akademik yang berkualitas. Untuk memulainya adalah dengan membangun karakter. Contoh kecil yang dapat berdampak besar misalnya sekolah mendirikan kantin kejujuran sebagai wadah melatih dan menumbuhkan sifat jujur pada siswa, dimana siswa bebas mengambil makanan, kemudian membayar sesuai harganya. Jika ada siswa yang kedapatan akan berbuat curang, maka temannya mengingatkan “hei hayOooooO…… belum bayar ya…., wah sweeper ne temannya dora….dosa tau’, seberapa sih keuntungan dari jualan itu..kasian tau' sekolah rugi donk kalau begini?” teguran kecil dari teman itu kadang lebih merasuk ke hati sehingga muncul kesadaran untuk tidak mengulangi lagi.
Ketika siswa tahu karena sekolah menghargai kejujuran. Maka para siswa memilih untuk jujur meskipun harus menanggung sanksi bila berbuat salah.
Sebagaimana jauh – jauh hari ditekankan oleh “Bapak” pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran(intellect), dan tubuh anak. Undang – undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas juga menggariskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa…”
Keberadaan pembelajaran nilai – nilai moral dan karakter mulai dipertanyakan kembali dalam dunia akademik. Mengapa dunia akademik terkesan abai dengan hal - hal demikian ? sekolah kini lebih sibuk dengan sisi pendidikan yang notabennya lebih mengupayakan siswa mendapat nilai tinggi. Pada level makro, sebenarnya muncul keinginan kuat agar pendidikan nasional mampu melahirkan generasi Indonesia yang berkarakter jujur dan berdaya saing tinggi.
Tingginya harapan masyarakat terhadap dunia pendidikan, agaknya dipicu oleh kenyataan masih senjangnya harapan dengan kenyataan di lapangan. Harus diakui dalam berbagai aspek, pendidikan di negeri ini mengalami kemajuan bahkan pesat. Sarana dan prasarana sekolah terus mengalami perbaikan. Peningkatan anggaran pendidikan jelas wujud nyata dari tekad Pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan. Namun demikian adanya dikembalikan kepada peranan guru, Apakah guru dapat memerankan peranannya dengan baik…..??????
Pendidikan merupakan bagian dari investasi, investasi masa depan. Buah masa depan hanya dapat digapai, bila dan hanya bila kita telah pernah menanamnya. Oleh karena itu, tepatlah sebuah pepatah dalam bahasa Arab :
من يزرع يحصد
”Barang siapa yang menanam akan memetik hasilnya”.
Seorang guru harus memiliki keyakinan dalam berinvestasi membangun budaya karakter jujur siswa, karena keyakinan merupakan syarat utama seseorang bersedia untuk melakukan investasi sebagaimana seorang petani yang menaburkan benih padi (yang dijadikan benih biasanya yang terbaik) di hamparan sawah, karena Sang petani memiliki keyakinan, benih padi yang baik tadi akan tumbuh dan menghasilkan padi jauh lebih banyak dari benih yang telah dia taburkan. Syarat kedua, Sang petani harus dengan sabar merawatnya, insya Allah pada saatnya nanti, padi tersebut akan tumbuh dengan baik dan memberikan hasil, begitupun sebagaimana halnya Sang guru dalam mendidik siswanya.
Ada setumpuk harapan disandarkan kepada dunia pendidikan.
Mampukah pendidikan mencetak generasi yang berkarakter kuat…??
Mampukah pendidikan menghasilkan orang – orang yang berintegritas tinggi di negeri ini? Sebuah keinginan yang boleh jadi terdengar berlebihan, meski sesungguhnya amat wajar, mengingat pendidikan memanglah tumpuhan solusi dari sekian banyak persoalan sumber daya manusia dan problem kemasyarakatan. Pendidikan pada hakikatnya adalah perubahan perilaku. Mengikuti kerangka berfikir seperti ini, sudah selayaknya seorang guru dalam proses pendidikan sanggup mengubah sikap dan membangun perilaku siswa sesuai harapan. insya Allah.. barakallah,,, :)